Friday, November 21, 2014

Dinamika Pengembangan Industri Bioetanol di Indonesia



Dinamika Pengembangan Industri Bioetanol di Indonesia
Wendi Anata1
1Teknologi Bioproses, Depertemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia
Abstrak
Bioetanol merupakan istilah dari etanol yang berasal dari serangkaian proses pengolahan bahan-bahan hayati yang mengandung karbohidrat seperti ubi kayu, sagu, jagung dll. Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti bensin(premium). Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden(Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Terdapat 9 pabrik etanol dengan total kapasitas produksi mencapai 133.632 kilo liter pada tahun 2008. Selama kurun waktu 23 tahun(2012-2035), diprediksi BBN meningkat dengan laju pertumbuhan 15,9%(0,7 juta kl pada 2012 menjadi 21 juta kl pada 2035) per tahun untuk skenario dasar dan 17,4% untuk skenario tinggi. Dengan kekayaan biomasanya, Indonesia merupakan negara yang potensial dalam pengembangan bioetanol. Namun, pengembangan bioetanol masih memiliki banyak kendala diantaranya harga yang tidak kompetitif, ketersediaan bahan baku, dan kualitas bioetanol tersebut.

Kata Kunci
Industri Bioetanol, Biofuel

Pengertian Biofuel dan Bioethanol
Bioetanol merupakan istilah dari etanol yang berasal dari serangkaian proses pengolahan bahan-bahan hayati yang mengandung karbohidrat seperti ubi kayu, sagu, jagung, molase(sari tetes tebu) dll. Bioetanol dimanfaatkan dalam industri kosmetik, parfum, farmasi, sebagai pelarut maupun energi. Bioetanol atau ethyl alcohol C2H5(OH) adalah cairan yang tidak berwarna, memiliki titik didih 78,4°C, tidak mudah menguap, dapat terurai di alam(biodegredable), kandungan racunnya rendah serta sedikit menimbulkan polusi lingkungan.
Proses pembuatan bioetanol terdiri dari beberapa tahap, yakni: gelatinasi, sakharifikasi, fermentasi dan destilasi. Bahan baku yang akan dibuat bioethanol dihancurkan dan dicampur dengan air sehingga menjadi bubur. Bubur pati tersebut dipanaskan sampai suhu 130°C selama 30 menit, kemudian setelah didinginkan hingga 55°C dilakukan proses sakharifikasi, yaitu proses pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana atau glukosa (gula larut air). Dan dilanjutkan dengan fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces cereviseae untuk mengubah glukosa tersebut menjadi bioetanol. Untuk memurnikan bioethanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol(ethanol/bioethanol) yang mempunyai kemurnian 40% tadi harus melalui proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air (Indonesian Commercial Newsletter 2008). Proses destilasi dapat juga menghasilkan bioetanol dengan kadar kemurnian sebesar 99%(fuel grade ethanol(FGE)) jika digunakan sebagai energi.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan standar spesifikasi bioetanol berdasarkan SNI DT 27-000102006, yang meliputi beberapa parameter seperti rapat massa, liquidation point, residu karbon, kandungan air dan lain-lain. Sehingga bioetanol yang diproduksi memiliki kualitas yang sesuai dengan kebutuhan sebagai bahan bakar.
Bioetanol sebagai energi memiliki nilai oktan yang tinggi sebesar 129 sehingga pembakarannya relatif stabil dan sempurna yang dapat mengurangi emisi karbon monoksida. Bioetanol juga memiliki kandungan oksigen yang cukup tinggi sebesar 35% yang dapat menghasilkan pembakaran yang bersih(emisi karbon monoksida lebih rendah 19-25% dari bensin). Dari spesifikasi yang dimiliki bioetanol diatas, energi terbarukan ini memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM, khususnya bensin.

Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bioetanol dan dampaknya terhadap industri
Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden(Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mendorong pengembangan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak.
Sementara itu, berdasarkan peraturan menteri ESDM 25/2013, pemerintah menargetkan pemanfaatan biodiesel sebesar 30% pada tahun 2025(khusus untuk pembangkit listrik) dan menurunkan pamanfaatan bioetanol pada tahun 2015 sampai tahun 2025 dan meningkatkan pemanfaatannya pada tahun 2025 sebesar 20%.
Dengan regulasiyang dibuat oleh pemerintah tersebut diharapkan pemanfaatan bioetanol semakin meningkat. Mekanisme pemanfaatan bioetanol sendiri dilakukan dengan pencampuran bioetanol dan bensin dengan persentase tertentu hingga pada tahun 2025 ditargetkan komposisi campuran bensin dan bioetanol adalah 80:20. Dilain hal, pelaksanaan dari regulasi tersebut melalui mandatori pemerintah terhadap penggunaan bioetanol nyaris tidak menunjukan realisasinya. Dalam hal ini, pemerintah masih kurang serius menerapkan kebijakan diversifikasi energi tersebut. Akibatnya, pangsa pasar bioetanol pun mengalami keterpurukan.
Hal ini berakibat pada industri-industri bioetanol di Indonesia yang semakin terancam bangkrut, khususnya pada pabrik-pabrik skala rumahan. Pada awalnya, industri beranggapan bahwa bioetanol yang mereka hasilkan akan diterima oleh Pertamina, atau lembaga lain yang bertugas sebagai pembeli siaga (off taker). Namun, karena kualitas bioetanol tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan Pertamina(kemurnian 99%), dimana bioetanol yang dihasilkan hanya memiliki kemurnian 90%. Hal ini disebabkan hanya perusahaan-perusahaan besarlah yang memiliki teknologi yang mampu menghasilkan kemurnian hingga 99%(full grade ethanol).
Selain itu, kebijakan pemerintah dinilai masih belum disiapkan dengan matang. Pasalnya, belum adanya sistem yang berkelanjutan dari mulai distribusi bioetanol dari para pengusaha bioetanol hingga dapat diterima oleh Pertamina. Sebagai contoh, pada distribusi beras, badan penyangga yang mengelolanya adalah bulog, pada listrik, yakni PLN. Negara-negara lain seperti Brazil, Thailand, Filipina yang pengembangan bioetanolnya sudah lebih maju pun memiliki lembaga penyangga terhadap industri bioetanol. 

Pabrik-pabrik yang memproduksi bioetanol di Indonesia
Sebagian besar pabrik biofuel saat ini masih dalam skala yang relatif kecil, karena kebanyakan adalah milik beberapa lembaga penelitian sebagai pilot project. Terdapat 9 pabrik etanol dengan total kapasitas produksi mencapai 133.632 kilo liter, dan beberapa diantaranya telah mulai produksi pada tahun 2007. Pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati memperkirakan biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengembangan Biofuel di Indonesia sampai tahun 2010, dengan target tercapainya penggunaan 10% biodiesel dan 5% bioetanol adalah sebesar Rp 200 triliun. Beberapa pabrik yang berkecimpung dalam industri bioetanol antara lain:

PT Molindo Raya

PT Molindo Raya Surabaya adalah produsen utama bioetanol di Indonesia. Dengan kapasitas terpasang sebesar 40.000 Kl/hari(330 hari kerja pertahun), operating capacity nya saat ini(tahun 2008) adalah ± 35.000 Kl/tahun. Bahan baku yang digunakan dalam memproduksi bioetanol adalah molases yang disuplai dari pabrik-pabrik sekitar. Pabrik ini dapat memproduksi etanol untuk bahan bakar kendaraan bermotor sebanyak 10.000 kiloliter per tahun.

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X

Pabrik bioetanol ini terletak di Mojokerto, Jawa Timur berkapasitas 30 juta liter per tahun dengan investasi Rp 461,21 miliar. Bioetanol yang diproses dari bahan baku tetes tebu (molasses) dari Pabrik Gula (PG) Gempolkrep Mojokerto ini akan diserap oleh Pertamina sebagai campuran bahan bakar premium. PTPN X mempunyai 11 pabrik gula yang tersebar di berbagai kota di Jawa Timur. Menurut Sudibyo, Direktur Utama PTPN X, pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan pabrik gula ini diharapkan bisa berkontribusi dalam upaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, pabrik ini juga sekaligus menjadi model bagi pengembangan industri gula yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kebutuhan bahan baku pabrik bioetanol ini sebesar 120.000 ton tetes tebu.

Dinamika produksi bioetanol dan realisasinya di Indonesia
BBN yang terdiri dari biodiesel dan bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang paling potensial mengurangi dominasi bahan bakar minyak. Selama kurun waktu 23 tahun(2012-2035), diprediksi BBN meningkat dengan laju pertumbuhan 15,9%(0,7 juta kl pada 2012 menjadi 21 juta kl pada 2035) per tahun untuk skenario dasar dan 17,4% untuk skenario tinggi(BPPT 2014). Pada kedua skenario, pertumbuhan bioetanol sangat rendah. Hal ini disebabkan hampir semua bahan baku bioetanol diperlukan sebagai bahan pangan atau farmasi sehingga cukup sulit untuk mengembangkan perkebunan energi untuk bioetanol sementara sementara hasil perkebunan tersebut masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan komoditas ekspor.
Text Box: Gambar 1. Proyeksi Pemanfaatan Biodiesel dan Bioetanol pada Tahun 2012-2035
(Sumber: Outlook Energi Indonesia 2014: BPPT)
Berikut proyeksi pemanfaatan biodiedel dan bioetanol pada skenario dasar dan skenario tinggi dalam jangka waktu 2012-2035:
Pemerintah telah mengalokasikan subsidi di sektor transportasi PSO(Public Service Obligation) untuk pemanfaatan biodiesel sebesar 3000 Rp./liter dan bioetanol 3500 Rp./liter pada APBN-P 2013 dan RAPBN 2014. Perubahan mandatori dengan targer yang lebih tinggi dengan dibuatnya peraturan menteri ESDM 25/2013 mempercepat pemanfaatan biodiesel dan bioetanol. Berdasarkan peraturan tersebut, pada tahun 2025 target yang diwajibkan pemerintah adalah wajib pakai bioetanol dari awalnya 15% menjadi 20%, namun pada tahun 2015 dari awalnya 5% diturunkan menjadi 1% sementara untuk transporasi non PSO dan industri turun dari 10% menjadi 2%. Hal ini disebabkan pemanfaatan bioetanol pengganti bensin masih dihadapkan oleh berbagai kendala.
Sejak tahun 2010 sampai saat ini, wajib pemakaian bioetanol belum dapat direalisasikan karena Indeks Harga Pasar(HIP) bioetanol masih tinggi sedangkan subsidi bioetanol sebesar Rp. 3500/liter tidak cukup menarik bagi produsen bioetanol.
Saat ini, 8 produsen bioetanol telah memiliki izin usaha niaga BBN dengan kapasitas produksi bioetanol sebesar 416 ribu kl/tahun, dimana kapasitas sebesar 200 ribu kl/tahun siap untuk diproduksi.
Text Box: Gambar 2. Mandatori dan Realisasi Penggunaan Bioetanol
(Sumber: Outlook Energi Indonesia 2014: BPPT)
Berikut mandatori dan realisasi pemanfaatan bioetanol:


Pada kurun waktu 23 tahun mendatang, kebutuhan bensin akan meningkat 3 kali lipat dari sekarang, dengan kondisi pengembangan bioetanol yang masih belum cukup baik, diprediksi bioetanol belum mampu menggantikan bensin.
Saat ini bahan baku yang potensial digunakan dalam membuat bioetanol di Indonesia antara lain molases atau tetes tebu, ketela pohon, ubi jalar, sorgum dan lain-lain. Setiap hektar lahan tebu dapat menghasilkan tetes tebu sekitar 10-15 ton(sekitar 766-1150 liter bioetanol grade bahan bakar). Pada tahun 2013 luas tanaman tebu di Indonesia sekitar 470.000 Ha(sekitar 3,6 juta kl bioetanol). Untuk mengembangkan bioetanol lebih lanjut diperlukan penambahan luas lahan baru yang selama ini masih menjadi kendala. Luas lahan sagu di Indoensia sekitar 1,2 juta Ha dengan potensi produksi sagu sekitar 5 juta ton pati kering. Dengan instensitas produksi 600 liter per ton pati, maka dapat dihasilkan bioetanol sebesar 2,85 juta kl. Selain tebu dan sagu, sumber bahan baku bioetanol yang potensial antara lain: Nipah, Aren dan Lontar. Nipah diperkirakan dapat menghasilkan 750 ribu bioetanol(dengan 25% produksi).Permasalahan pengembangan bioetanol di Indonesia adalah bersaingnya penggunaan hasil bahan baku tersebut terhadap kebutuhan pangan maupun obat-obatan.
Selain itu, dengan subsidi sebesar 3500 Rp./liter, harga bioetanol belum cukup kompetitif sehingga kurang menarik minat industri dalam negeri dan investor. Permasalahan utama yang dihadapi sekarang adalah HIP yang menjadi acuan harga bioethanol sudah tidak sesuai dengan keekonomian, alias terlalu murah. Kementerian ESDM mengajukan usulan kenaikan HIP menjadi sekitar Rp9 ribu per liter. Ini sesuai dengan biaya produksi bioetanol yang sekitar Rp9 ribu-Rp9200 per liter. Sementara harga bioetanol saat ini hanya sekitar Rp8 ribu per liter.
Di lain hal, Pertamina sebagai BUMN, memiliki peran yang strategis untuk menciptakan dan mengembangkan pasar bioetanol sehingga industri-industri yang bergerak dalam produksi bioethanol bisa tetap berjalan dan berkembang.

Negara-negara yang menggunakan bietanol sebagai bahan bakar
Biofuel telah dikembangkan di banyak negara sebagai salah satu sumber energi untuk subsitusi energi yang berasal dari fosil seperti minyak bumi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Korea Selatan, India dan Jepang telah melakukan penelitian yang intensif untuk mengembangkan biofuel (Kementerian ESDM 2014).
Industri biofuel dunia saat ini masih didominasi oleh produksi bioetanol, yang mencapai sekitar 700.000 barel per hari, sementara itu biodiesel produksinya hanya sekitar 75.000 barel per hari pada tahun 2006. Amerika serikat dan Brazil adalah negara utama produsen dan konsumen bioetanol, dengan produksi 80% dari total produksi dunia. Dan konsumsi bioethanol oleh Amerika Serikat dan Brazil mencapai 75% dari total konsumsi dunia. Bioetanol juga berkembang pesat di negara-negara Uni Eropa seperti Jerman, Spanyol dan  Swedia. Sementara itu Honggaria, Lithuania dan republik Czech adalah negara baru produsen bioetanol. Di Asia, bioetanol mulai berkembang di beberapa negara antara lain India, Thailand, China, Malaysia dan Indonesia (Indonesian Commercial Newsletter 2008).

Amerika Serikat
Sejak tahun 1979, pemerintah Amerika Serikat telah menerapkan insentif pajak terhadap pengguna biofuel dalam bentuk Federal Excise Tax Exemption, dan saat ini sedang meningkatkan penggunaan Fuel Flexible Vechicles, dan memberikan insentif terhadap pembangunan SPBU. Beberapa negara bagian seperti Minnesota, Hawaii, Montana, dan Oregon saat ini telah menerapkan E10 (bioetanol yang dicampur dengan bensin dengan perbandingan 10:90), dengan bahan baku jagung.
Brazil
Menurut data dari kementerian ESDM, Brazil telah mengembangkan bioetanol yang bersumber dari tebu dengan melakukan ujicoba pada kendaraan sejak tahun 1925, dan dikembangkan dalam periode cukup lama dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, dan saat ini pengembangan biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme pasar.  Dari seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50.
India
Kebijakan pengembangan bioetanol diarahkan pada pemanfaatan Molasses yang berasal dari komoditas tebu, sehingga tidak mengganggu penyediaan gula.  Saat ini telah ditetapkan kebijakan E5 dan secara bertahap dikembangkan ke E10 pada 2012.  Serangkaian percobaan terhadap industri otomotif untuk penerapan E5 dan telah dinyatakan layak, namun saat ini masih belum dapat ditingkatkan kearah yang lebih tinggi karena masih dianggap dapat mengganggu mesin kendaraan. Indian Oil telah menerapkan E5 di beberapa negara bagian India sejak 2003, dan pemanfaatannya akan lebih baik apabila menerapkan catalityc converter kit.

Potensi bioetanol di Indonesia
Menurut artikel di Bisnis Indonesia(tanggal 15 desember 2013) populasi kendaraan di Indonesia tidak kurang dari 100 juta unit. Dari jumlah tersebut 80 juta unit adalah sepeda motor. Pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia, khususnya sepeda motor melonjak secara signifikan pada beberapa tahun belakangan dengan pertumbuhan eksponensial. Hal ini berakibat pada kebutuhan BBM yang meningkat pula. Dengan kondisi seperti ini, dimana BBM semakin lama semakin menipis, bioetanol berpotensi menjadi bahan bakar alternatif pengganti bensin dengan keunggulannya seperti pembakaran lebih sempurna, mengurangi emisi karbon monoksida dan lain-lain.
Selain itu, potensi biomassa diprediksi berpotensi membangkitkan energi listrik hingga 49.810 megawatt. Saat ini diperkirakan pemanfaatan biomassa baru mampu memproduksi listrik 445 megawatt. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan sehingga potensi tersebut bersifat sektoral dimana akan terjadi kesulitan pendistribusian biomasa tersebut untuk diolah menjadi bioetanol.
Saat ini, teknologi yang digunakan dalam produksi bioetanol memanfaatkan bahan baku non pangan atau biasa disebut bioetanol generasi kedua, dimana bioetanol generasi pertama menggunakan bahan baku yang berbasis pangan. Bioetanol generasi kedua menggunakan bahan baku seperti limbah pertanian maupun kehutanan. Salah satu bahan baku yang paling potensial digunakan adalah limbah ampas tebu, dengan luas tanaman tebu di Indonesia sekitar 470.000 Ha(menghasilkan sekitar 3,6 juta kl bioetanol). 

Hambatan-hambatan yang mempengaruhi pengembangan bioetanol

Industri nonenergi juga membutuhkan bioetanol
Menurut Kepala Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Alhilal Hamdi(dalam Market Intelligence Report On Perkembangan Industri Biofuel di Indonesia) menyatakan, keterbatasan salah satu bahan baku utama  biofuel, yaitu etanol untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar menjadi kendala utama. Etanol yang tersedia, jadi rebutan dengan dengan industri lain. Etanol di Indonesia juga digunakan untuk industri alkohol atau industri lain seperti rokok, kosmetik dan plastik.

Harga yang Belum Bersaing
Biaya produksi biofuel seperti biodiesel berkisar antara Rp. 8000 – Rp. 10000, sementara biaya produksi bioetanol melebihi biodiesel. Hal ini mengakibatkan bioetanol kalah bersaing dengan BBM bersubsidi. Disamping itu proses pembuatan biodiesel yang menggunakan unit destilasi juga memerlukan energi yang besar sehingga modal yang diperlukan untuk biaya produksi pun meningkat.
Terlebih lagi, apabila industri ingin mengekspor bioetanol ke negara lain, pajak impor yang ditetapkan sangat besar, yakni 30%. Hal ini yang menyebabkan pasar bioetanol sepi peminat.

Efisiensi produksi bioetanol
Menurut Agus Haryono, Koordinator Proyek Kerja Sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Korea International Cooperation Agency (Koica) dalam pengembangan pabrik bioetanol generasi kedua, meneliti bahwa efisiensi kerja enzim dalam fermentasi bahan baku menjadi bioetanol perlu ditingkatkan, karena enzim hanya mampu menghasilkan kadar bioetanol sebesar 6% saja. Disamping itu, kemurnian bioetanol harus dijaga kualitasnya, hal ini berpengaruh terhadap performa mesin kendaraan dimana kandungan air yang terdapat pada bioetanol dapat menyebabkan korosi pada mesin kendaraan.

Bahan baku bietanol untuk energi atau pangan
Tebu merupakan bahan baku bioetanol yang paling potensial digunakan. Namun, tidak seperti Brazil yang memiliki luas daratan yang besar. Indonesia adalah negra kepulauan, sehingga keterbatasan lahan menjadi kendala. Disamping itu, komoditas tebu di Indonesia lebih cenderung dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula pasir sebagai bahan pangan. 

Solusi solusi strategis untuk meningkatkan pengembangan bietanol
Strategi yang dapat diambil agar bioetanol dapat bertahap digunakan sebagai bahan bakar pengganti bensin antara lain:
·         Menghapus atau mengurangi subsidi premium sampai harga bioetanol dapat bersaing dipasaran
·         Meningkatkan subsidi bioetanol dibarengi dengan pengurangan subsidi premium
·         Melakukan budidaya tanaman-tanaman sebagai bahan baku bioetanol yang tidak bersaing dengan pangan dan memperluas wilayahnya

Disamping itu, pemerintah harus konsisten melaksanakan kebijakan terkait bioetanol agar pemanfaatan energi terbarukan ini bisa berjalan dengan optimal dan dapat menjaga ketahanan energi Indonesia di masa depan.


Daftar Pustaka









http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/10973 (Diakses 11 Oktober 2014 Pukul 21.18

Supriyono, Agus et al. Outlook Energi Indonesia 2014. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. PTSE: Jakarta


No comments: