Dinamika Pengembangan Industri Bioetanol di
Indonesia
Wendi Anata1
1Teknologi Bioproses,
Depertemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia
Abstrak
Bioetanol merupakan
istilah dari etanol yang berasal dari serangkaian proses pengolahan bahan-bahan
hayati yang mengandung karbohidrat seperti ubi kayu, sagu, jagung dll.
Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti
bensin(premium). Untuk
mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden(Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Terdapat 9 pabrik etanol dengan
total kapasitas produksi mencapai 133.632 kilo liter pada tahun 2008. Selama kurun waktu 23 tahun(2012-2035), diprediksi BBN meningkat dengan
laju pertumbuhan 15,9%(0,7 juta kl pada 2012 menjadi 21 juta kl pada 2035) per
tahun untuk skenario dasar dan 17,4% untuk skenario tinggi. Dengan kekayaan
biomasanya, Indonesia merupakan negara yang potensial dalam pengembangan
bioetanol. Namun, pengembangan bioetanol masih memiliki banyak kendala
diantaranya harga yang tidak kompetitif, ketersediaan bahan baku, dan kualitas
bioetanol tersebut.
Kata Kunci
Industri Bioetanol, Biofuel
Pengertian Biofuel dan Bioethanol
Bioetanol merupakan
istilah dari etanol yang berasal dari serangkaian proses pengolahan bahan-bahan
hayati yang mengandung karbohidrat seperti ubi kayu, sagu, jagung, molase(sari
tetes tebu) dll. Bioetanol dimanfaatkan dalam industri kosmetik, parfum,
farmasi, sebagai pelarut maupun energi. Bioetanol atau ethyl alcohol C2H5(OH) adalah
cairan yang tidak berwarna, memiliki titik didih 78,4°C, tidak mudah menguap, dapat
terurai di alam(biodegredable),
kandungan racunnya rendah serta sedikit menimbulkan polusi lingkungan.
Proses
pembuatan bioetanol terdiri dari beberapa tahap, yakni: gelatinasi, sakharifikasi,
fermentasi dan destilasi. Bahan baku
yang akan dibuat bioethanol dihancurkan dan dicampur dengan air sehingga
menjadi bubur. Bubur pati tersebut dipanaskan sampai suhu 130°C selama 30
menit, kemudian setelah didinginkan hingga 55°C dilakukan proses sakharifikasi,
yaitu proses pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana atau glukosa (gula
larut air). Dan dilanjutkan dengan fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces cereviseae untuk mengubah
glukosa tersebut menjadi bioetanol. Untuk memurnikan bioethanol menjadi
berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar,
alkohol(ethanol/bioethanol) yang mempunyai kemurnian 40% tadi harus melalui
proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air (Indonesian
Commercial Newsletter
2008). Proses destilasi dapat juga menghasilkan
bioetanol dengan kadar kemurnian sebesar 99%(fuel grade ethanol(FGE)) jika digunakan sebagai energi.
Pemerintah
Indonesia telah menetapkan standar spesifikasi bioetanol berdasarkan SNI DT
27-000102006, yang meliputi beberapa parameter seperti rapat massa, liquidation point, residu karbon,
kandungan air dan lain-lain. Sehingga bioetanol yang diproduksi memiliki
kualitas yang sesuai dengan kebutuhan sebagai bahan bakar.
Bioetanol sebagai
energi memiliki nilai oktan yang tinggi sebesar 129 sehingga pembakarannya
relatif stabil dan sempurna yang dapat mengurangi emisi karbon monoksida.
Bioetanol juga memiliki kandungan oksigen yang cukup tinggi sebesar 35% yang
dapat menghasilkan pembakaran yang bersih(emisi karbon monoksida lebih rendah
19-25% dari bensin). Dari
spesifikasi yang dimiliki bioetanol diatas, energi terbarukan ini memiliki
potensi yang cukup besar sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM,
khususnya bensin.
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
bioetanol dan dampaknya terhadap industri
Untuk
mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden(Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional
untuk mendorong pengembangan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan
bakar minyak.
Sementara
itu, berdasarkan peraturan menteri ESDM 25/2013, pemerintah menargetkan pemanfaatan
biodiesel sebesar 30% pada tahun 2025(khusus untuk pembangkit listrik) dan
menurunkan pamanfaatan bioetanol pada tahun 2015 sampai tahun 2025 dan
meningkatkan pemanfaatannya pada tahun 2025 sebesar 20%.
Dengan
regulasiyang dibuat oleh pemerintah tersebut diharapkan pemanfaatan bioetanol semakin
meningkat. Mekanisme pemanfaatan bioetanol sendiri dilakukan dengan pencampuran
bioetanol dan bensin dengan persentase tertentu hingga pada tahun 2025
ditargetkan komposisi campuran bensin dan bioetanol adalah 80:20. Dilain hal,
pelaksanaan dari regulasi tersebut melalui mandatori pemerintah terhadap
penggunaan bioetanol nyaris tidak menunjukan realisasinya. Dalam hal ini,
pemerintah masih kurang serius menerapkan kebijakan diversifikasi energi
tersebut. Akibatnya, pangsa pasar bioetanol pun mengalami keterpurukan.
Hal
ini berakibat pada industri-industri bioetanol di Indonesia yang semakin
terancam bangkrut, khususnya pada pabrik-pabrik skala rumahan. Pada awalnya,
industri beranggapan bahwa bioetanol yang mereka hasilkan akan diterima oleh
Pertamina, atau lembaga lain yang bertugas sebagai pembeli siaga (off taker). Namun, karena
kualitas bioetanol tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan
Pertamina(kemurnian 99%), dimana bioetanol yang dihasilkan hanya memiliki
kemurnian 90%. Hal ini disebabkan hanya perusahaan-perusahaan besarlah yang
memiliki teknologi yang mampu menghasilkan kemurnian hingga 99%(full grade ethanol).
Selain
itu, kebijakan pemerintah dinilai masih belum disiapkan dengan matang.
Pasalnya, belum adanya sistem yang berkelanjutan dari mulai distribusi
bioetanol dari para pengusaha bioetanol hingga dapat diterima oleh Pertamina.
Sebagai contoh, pada distribusi beras, badan penyangga yang mengelolanya adalah
bulog, pada listrik, yakni PLN. Negara-negara lain seperti Brazil, Thailand, Filipina
yang pengembangan bioetanolnya sudah lebih maju pun memiliki lembaga penyangga
terhadap industri bioetanol.
Pabrik-pabrik yang memproduksi bioetanol di
Indonesia
Sebagian
besar pabrik biofuel saat ini masih dalam skala yang relatif kecil, karena kebanyakan
adalah milik beberapa lembaga penelitian sebagai pilot project. Terdapat 9
pabrik etanol dengan total kapasitas produksi mencapai 133.632 kilo liter, dan
beberapa diantaranya telah mulai produksi pada tahun 2007. Pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan
Bahan Bakar Nabati memperkirakan biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk
pengembangan Biofuel di Indonesia
sampai tahun 2010, dengan target tercapainya penggunaan 10% biodiesel dan 5%
bioetanol adalah sebesar Rp 200 triliun. Beberapa pabrik yang berkecimpung
dalam industri bioetanol antara lain:
PT Molindo Raya
PT Molindo
Raya Surabaya adalah produsen utama bioetanol di Indonesia. Dengan kapasitas terpasang
sebesar 40.000 Kl/hari(330 hari kerja pertahun), operating capacity nya saat ini(tahun 2008) adalah ± 35.000
Kl/tahun. Bahan baku yang digunakan dalam memproduksi bioetanol adalah
molases yang disuplai dari pabrik-pabrik sekitar. Pabrik ini dapat memproduksi etanol
untuk bahan bakar kendaraan bermotor sebanyak 10.000 kiloliter per tahun.
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X
Pabrik bioetanol ini
terletak di Mojokerto, Jawa Timur berkapasitas 30 juta liter per tahun dengan
investasi Rp 461,21 miliar. Bioetanol yang diproses dari bahan baku tetes tebu
(molasses) dari Pabrik Gula (PG) Gempolkrep Mojokerto ini akan diserap oleh
Pertamina sebagai campuran bahan bakar premium. PTPN X mempunyai 11 pabrik gula
yang tersebar di berbagai kota di Jawa Timur. Menurut Sudibyo, Direktur Utama
PTPN X, pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan pabrik gula ini diharapkan
bisa berkontribusi dalam upaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan di
Indonesia. Selain itu, pabrik ini juga sekaligus menjadi model bagi
pengembangan industri gula yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kebutuhan
bahan baku pabrik bioetanol ini sebesar 120.000 ton tetes tebu.
Dinamika produksi bioetanol dan realisasinya di
Indonesia
BBN yang terdiri dari
biodiesel dan bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang paling potensial
mengurangi dominasi bahan bakar minyak. Selama kurun waktu 23 tahun(2012-2035),
diprediksi BBN meningkat dengan laju pertumbuhan 15,9%(0,7 juta kl pada 2012
menjadi 21 juta kl pada 2035) per tahun untuk skenario dasar dan 17,4% untuk
skenario tinggi(BPPT 2014). Pada kedua skenario, pertumbuhan bioetanol sangat
rendah. Hal ini disebabkan hampir semua bahan baku bioetanol diperlukan sebagai
bahan pangan atau farmasi sehingga cukup sulit untuk mengembangkan perkebunan
energi untuk bioetanol sementara sementara hasil perkebunan tersebut masih
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan komoditas ekspor.
Berikut proyeksi pemanfaatan biodiedel dan bioetanol pada skenario dasar dan skenario tinggi dalam jangka waktu 2012-2035:
Pemerintah telah
mengalokasikan subsidi di sektor transportasi PSO(Public Service Obligation)
untuk pemanfaatan biodiesel sebesar 3000 Rp./liter dan bioetanol 3500 Rp./liter
pada APBN-P 2013 dan RAPBN 2014. Perubahan mandatori dengan targer yang lebih
tinggi dengan dibuatnya peraturan menteri ESDM 25/2013 mempercepat pemanfaatan
biodiesel dan bioetanol. Berdasarkan peraturan tersebut, pada tahun 2025 target
yang diwajibkan pemerintah adalah wajib pakai bioetanol dari awalnya 15%
menjadi 20%, namun pada tahun 2015 dari awalnya 5% diturunkan menjadi 1% sementara
untuk transporasi non PSO dan industri turun dari 10% menjadi 2%. Hal ini
disebabkan pemanfaatan bioetanol pengganti bensin masih dihadapkan oleh
berbagai kendala.
Sejak tahun 2010 sampai
saat ini, wajib pemakaian bioetanol belum dapat direalisasikan karena Indeks
Harga Pasar(HIP) bioetanol masih tinggi sedangkan subsidi bioetanol sebesar Rp.
3500/liter tidak cukup menarik bagi produsen bioetanol.
Saat ini, 8 produsen
bioetanol telah memiliki izin usaha niaga BBN dengan kapasitas produksi
bioetanol sebesar 416 ribu kl/tahun, dimana kapasitas sebesar 200 ribu kl/tahun
siap untuk diproduksi.
Berikut mandatori dan
realisasi pemanfaatan bioetanol:
Pada kurun waktu 23 tahun
mendatang, kebutuhan bensin akan meningkat 3 kali lipat dari sekarang, dengan
kondisi pengembangan bioetanol yang masih belum cukup baik, diprediksi
bioetanol belum mampu menggantikan bensin.
Saat ini bahan baku yang
potensial digunakan dalam membuat bioetanol di Indonesia antara lain molases
atau tetes tebu, ketela pohon, ubi jalar, sorgum dan lain-lain. Setiap hektar
lahan tebu dapat menghasilkan tetes tebu sekitar 10-15 ton(sekitar 766-1150
liter bioetanol grade bahan bakar). Pada tahun 2013 luas tanaman tebu di
Indonesia sekitar 470.000 Ha(sekitar 3,6 juta kl bioetanol). Untuk
mengembangkan bioetanol lebih lanjut diperlukan penambahan luas lahan baru yang
selama ini masih menjadi kendala. Luas lahan sagu di Indoensia sekitar 1,2 juta
Ha dengan potensi produksi sagu sekitar 5 juta ton pati kering. Dengan
instensitas produksi 600 liter per ton pati, maka dapat dihasilkan bioetanol
sebesar 2,85 juta kl. Selain tebu dan sagu, sumber bahan baku bioetanol yang
potensial antara lain: Nipah, Aren dan Lontar. Nipah diperkirakan dapat
menghasilkan 750 ribu bioetanol(dengan 25% produksi).Permasalahan pengembangan
bioetanol di Indonesia adalah bersaingnya penggunaan hasil bahan baku tersebut
terhadap kebutuhan pangan maupun obat-obatan.
Selain itu, dengan
subsidi sebesar 3500 Rp./liter, harga bioetanol belum cukup kompetitif sehingga
kurang menarik minat industri dalam negeri dan investor. Permasalahan utama yang dihadapi
sekarang adalah HIP yang menjadi acuan harga bioethanol sudah tidak sesuai
dengan keekonomian, alias terlalu murah. Kementerian ESDM mengajukan usulan
kenaikan HIP menjadi sekitar Rp9 ribu per liter. Ini sesuai dengan biaya
produksi bioetanol yang sekitar Rp9 ribu-Rp9200 per liter. Sementara harga
bioetanol saat ini hanya sekitar Rp8 ribu per liter.
Di lain hal, Pertamina
sebagai BUMN, memiliki peran yang strategis untuk menciptakan dan mengembangkan
pasar bioetanol sehingga industri-industri yang bergerak dalam produksi
bioethanol bisa tetap berjalan dan berkembang.
Negara-negara yang menggunakan bietanol sebagai
bahan bakar
Biofuel
telah dikembangkan di banyak negara sebagai salah satu sumber energi untuk
subsitusi energi yang berasal dari fosil seperti minyak bumi. Negara-negara
seperti Amerika Serikat, Brazil, Korea Selatan, India dan Jepang telah
melakukan penelitian yang intensif untuk mengembangkan biofuel (Kementerian
ESDM 2014).
Industri
biofuel dunia saat ini masih didominasi oleh produksi bioetanol, yang mencapai
sekitar 700.000 barel per hari, sementara itu biodiesel produksinya hanya
sekitar 75.000 barel per hari pada tahun 2006. Amerika serikat dan Brazil adalah
negara utama produsen dan konsumen bioetanol, dengan produksi 80% dari total
produksi dunia. Dan konsumsi bioethanol oleh Amerika Serikat dan Brazil
mencapai 75% dari total konsumsi dunia. Bioetanol juga berkembang pesat di
negara-negara Uni Eropa seperti Jerman, Spanyol dan Swedia. Sementara itu
Honggaria, Lithuania dan republik Czech adalah negara baru produsen bioetanol.
Di Asia, bioetanol mulai berkembang di beberapa negara antara lain India,
Thailand, China, Malaysia dan Indonesia (Indonesian
Commercial Newsletter 2008).
Amerika Serikat
Sejak tahun 1979,
pemerintah Amerika Serikat telah menerapkan
insentif pajak terhadap pengguna biofuel dalam bentuk Federal Excise Tax Exemption,
dan saat ini sedang meningkatkan penggunaan Fuel
Flexible Vechicles, dan memberikan insentif terhadap pembangunan
SPBU. Beberapa negara bagian seperti Minnesota, Hawaii, Montana, dan Oregon
saat ini telah menerapkan E10 (bioetanol yang dicampur dengan bensin dengan
perbandingan 10:90), dengan bahan baku jagung.
Brazil
Menurut
data dari kementerian ESDM, Brazil telah mengembangkan bioetanol yang bersumber
dari tebu dengan melakukan ujicoba pada kendaraan sejak tahun 1925, dan
dikembangkan dalam periode cukup lama dengan dukungan penuh dari pemerintah
dalam bentuk regulasi dan insentif, dan saat ini pengembangan biofuel di Brazil
telah menggunakan mekanisme pasar. Dari seluruh produksi tebu,
perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50.
India
Kebijakan
pengembangan bioetanol diarahkan pada pemanfaatan Molasses yang berasal dari komoditas tebu, sehingga tidak
mengganggu penyediaan gula. Saat ini telah ditetapkan kebijakan E5 dan
secara bertahap dikembangkan ke E10 pada 2012. Serangkaian percobaan
terhadap industri otomotif untuk penerapan E5 dan telah dinyatakan layak, namun
saat ini masih belum dapat ditingkatkan kearah yang lebih tinggi karena masih
dianggap dapat mengganggu mesin kendaraan. Indian
Oil telah menerapkan E5 di beberapa negara bagian India sejak 2003,
dan pemanfaatannya akan lebih baik apabila menerapkan catalityc converter kit.
Potensi bioetanol di Indonesia
Menurut
artikel di Bisnis Indonesia(tanggal
15 desember 2013) populasi kendaraan di Indonesia tidak kurang dari 100 juta
unit. Dari jumlah tersebut 80 juta unit adalah sepeda motor. Pertumbuhan
kendaraan bermotor di Indonesia, khususnya sepeda motor melonjak secara
signifikan pada beberapa tahun belakangan dengan pertumbuhan eksponensial. Hal
ini berakibat pada kebutuhan BBM yang meningkat pula. Dengan kondisi seperti
ini, dimana BBM semakin lama semakin menipis, bioetanol berpotensi menjadi
bahan bakar alternatif pengganti bensin dengan keunggulannya seperti pembakaran
lebih sempurna, mengurangi emisi karbon monoksida dan lain-lain. Selain itu, potensi biomassa diprediksi berpotensi membangkitkan energi listrik hingga 49.810 megawatt. Saat ini diperkirakan pemanfaatan biomassa baru mampu memproduksi listrik 445 megawatt. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan sehingga potensi tersebut bersifat sektoral dimana akan terjadi kesulitan pendistribusian biomasa tersebut untuk diolah menjadi bioetanol.
Saat ini, teknologi yang digunakan dalam produksi bioetanol memanfaatkan bahan baku non pangan atau biasa disebut bioetanol generasi kedua, dimana bioetanol generasi pertama menggunakan bahan baku yang berbasis pangan. Bioetanol generasi kedua menggunakan bahan baku seperti limbah pertanian maupun kehutanan. Salah satu bahan baku yang paling potensial digunakan adalah limbah ampas tebu, dengan luas tanaman tebu di Indonesia sekitar 470.000 Ha(menghasilkan sekitar 3,6 juta kl bioetanol).
Hambatan-hambatan yang mempengaruhi pengembangan
bioetanol
Industri
nonenergi juga membutuhkan bioetanol
Menurut
Kepala Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Alhilal Hamdi(dalam Market Intelligence Report On Perkembangan Industri Biofuel di Indonesia)
menyatakan, keterbatasan
salah satu bahan baku utama biofuel, yaitu etanol untuk memenuhi
kebutuhan bahan bakar menjadi kendala utama. Etanol yang tersedia, jadi rebutan
dengan dengan industri lain. Etanol di Indonesia juga digunakan untuk industri
alkohol atau industri lain seperti rokok, kosmetik dan plastik.
Harga
yang Belum Bersaing
Biaya
produksi biofuel seperti biodiesel
berkisar antara Rp. 8000 – Rp. 10000, sementara biaya produksi bioetanol melebihi
biodiesel. Hal ini mengakibatkan bioetanol kalah bersaing dengan BBM
bersubsidi. Disamping itu proses pembuatan biodiesel yang menggunakan unit
destilasi juga memerlukan energi yang besar sehingga modal yang diperlukan
untuk biaya produksi pun meningkat.
Terlebih
lagi, apabila industri ingin mengekspor bioetanol ke negara lain, pajak impor
yang ditetapkan sangat besar, yakni 30%. Hal ini yang menyebabkan pasar
bioetanol sepi peminat.
Efisiensi
produksi bioetanol
Menurut
Agus Haryono, Koordinator Proyek Kerja Sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dengan Korea International Cooperation Agency (Koica) dalam pengembangan
pabrik bioetanol generasi kedua, meneliti bahwa efisiensi kerja enzim dalam
fermentasi bahan baku menjadi bioetanol perlu ditingkatkan, karena enzim hanya
mampu menghasilkan kadar bioetanol sebesar 6% saja. Disamping itu, kemurnian
bioetanol harus dijaga kualitasnya, hal ini berpengaruh terhadap performa mesin
kendaraan dimana kandungan air yang terdapat pada bioetanol dapat menyebabkan
korosi pada mesin kendaraan.
Bahan baku
bietanol untuk energi atau pangan
Tebu merupakan bahan baku
bioetanol yang paling potensial digunakan. Namun, tidak seperti Brazil yang
memiliki luas daratan yang besar. Indonesia adalah negra kepulauan, sehingga
keterbatasan lahan menjadi kendala. Disamping itu, komoditas tebu di Indonesia
lebih cenderung dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula pasir sebagai
bahan pangan.
Solusi solusi strategis untuk meningkatkan
pengembangan bietanol
Strategi yang dapat
diambil agar bioetanol dapat bertahap digunakan sebagai bahan bakar pengganti bensin
antara lain:
·
Menghapus atau mengurangi
subsidi premium sampai harga bioetanol dapat bersaing dipasaran
·
Meningkatkan subsidi
bioetanol dibarengi dengan pengurangan subsidi premium
·
Melakukan budidaya
tanaman-tanaman sebagai bahan baku bioetanol yang tidak bersaing dengan pangan
dan memperluas wilayahnya
Disamping itu, pemerintah
harus konsisten melaksanakan kebijakan terkait bioetanol agar pemanfaatan
energi terbarukan ini bisa berjalan dengan optimal dan dapat menjaga ketahanan
energi Indonesia di masa depan.
Daftar Pustaka
http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/pertamina-siap-serap-bioetanol-dari-ptpn-x/40375
(Diakses 13
Oktober 2014 Pukul 21.40)
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2012/10/121028_indobiofuel.shtml (Diakses 13
Oktober 2014 Pukul 19.07)
http://www.datacon.co.id/Biofuel2008Ind.html
(Diakses 11 Oktober 2014 Pukul 21.00)
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/07/08/262876/kendala-harga-ganjal-pengembangan-bioetanol (Diakses 13
Oktober 2014 Pukul 21.08)
http://www.esdm.go.id/berita/323-energi-baru-dan-terbarukan/3055-perkembangan-biofuel-dibeberapa-negara.html (Diakses 13
Oktober 2014 Pukul 19.46)
http://isroi.com/2013/12/19/mengapa-bioetanol-masih-diperlukan-untuk-indonesia/ (Diakses 13
Oktober 2014 Pukul 19.37)
http://www.neraca.co.id/article/18289/Harga-BBM-Murah-Energi-Alternatif-Sulit-Bersaing/3 (Diakses 13
Oktober 2014 Pukul 21.01)
http://tekno.kompas.com/read/2012/04/27/03381941/bioetanol.generasi.kedua. (Diakses 13
Oktober 2014 Pukul 20.54)
Supriyono, Agus et al.
Outlook Energi Indonesia 2014. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. PTSE:
Jakarta
No comments:
Post a Comment